Sabtu, 17 Januari 2009

Indah Pada Waktunya

”Teet…! Teet…!” bel berbunyi pertanda pelajaran siap dimulai. Ini juga sebagai pertanda kalau aku telah memasuki masa-masa kritis sebagai penentu masa depanku.
Hari di pertengahan Januari ini adalah hari pertamaku di awal semester dua kelas IX. Bisa dibilang, umurku di SMP Negeri 5 Semarang ini tinggal sebentar lagi, soalnya di bulan Mei aku sudah harus menghadapi UAN.
“Rasanya baru kemarin kita jadi anak manis di depan kakak kelas waktu MOS, tapi kok sekarang kita udah hampir pensiun ya…”, ucap Rere sambil mendesah.
“Iya bener, perasaan baru kemarin kita dikerjain sama kakak panitia. Tau ga masa waktu MOS aku disuruh muterin lapangan sambil teriak-teriak AKU INI ORANG GILA. Kalau bukan karena kita disuruh minta tanda tangan, aku ga bakaln nurutin perintah itu. Ya… tapi mau gimana lagi, daripada dikasih tugas pengganti, ya udah terpaksa aku lakuin itu juga”, dukung Dara dengan wajah yang menyimpan rasa kesal sama Mas Bimo, kakak panitia yang terkenal pelit ngasih tanda tangan dan seneng buat orang malu.
Sepanjang koridor kelas IX menuju Cario’s Café, aku, Rere, Dara, Amelia, dan Opy bercanda tawa mangingat kejailan kakak panitia MOS. Setiap istirahat kalau ga ada tugas dan ulangan, kami berlima selalu ke Cario’s Café, satu-satunya kantin di sekolah yang menjual bakso.
Amelia adalah sahabat karibku, karena dari kelas VII, di VII B aku udah bersahabat dengan dia. Apalagi rumahku berdekatan dengan rumahnya. Ceritanya, waktu itu ada tugas fisika tentang pengukuran menggunakan jangka sorong dan mikrometer sekrup. Tugas itu dikasih sama Bu Sutinah, guru Fisikaku waktu hari Jum’at dan tugas itu harus dikumpulin hari Senin. Hari Minggu siang, Amelia datang kerumahku dengan muka sembap dan masih ada sisa air matanya.
Aku bertanya, “Mel, kamu kenapa?”
“ Lia, ngerjain tugas fisika bareng yuk!” jawab Amelia sambil terisak-isak.
Langsung aja aku tenangin dia dan ngerjain tugas itu. Sebenarnya, aku juga ga terlalu bisa tentang materi itu, tapi untungnya ada Mas Alex, kakakku yang waktu itu baru masuk di Perguruan Tinggi. Mulai hari itu, aku jadi sering duduk sebangku sama dia di sekolah.
Kalau sama Dara dan Rere, aku sahabatan sama mereka juga dari kelas VII, di VII B. Tapi, bukan karena tugas. Awal mula aku deket sama mereka waktu di kolam renang. Dulu, aku sama sekali ga bisa renang. Tapi, untung aja ada Dara sama Rere yang ngajarin aku, istilahnya dari yang dasar ke yang rumit. Mulai dari situ, aku sering kemena-mana bareng sama mereka. Apalagi, waktu kelas VIII, kami satu kelas lagi, di VIII A.
Nah! Kalau sama Opy, ceritanya gini dulu waktu kelas VIII aku sering curhat sama dia, soalnya aku sama Opy les Bahasa Inggris di tempat yang sama. Jadi, kedekatanku sama Opy dimulai dari curhat-curhatan.
Pas udah sampai di Cario’s Café, langsung aja kami pesen bakso plus Juice Jambu, dan yang ga bakal ketinggalan mendoan ala Cario. Untuk pesen segitu cuma ngeluarin uang Rp 3000,00. Pas banget tuh buat anak SMP yang uang jajannya ga lebih dari Rp 6.000,00.
“Aaaaaarghh…!” Opy bersendawa.
“Opy, sebenernya kamu cewe apa cowo sih? Ga sopan tau sendawa bagi cewe”, sahutku yang mengimbangi sendawa Opy yang terdengar sampai satu kantin.
Mendengar sekaligus melihat muka Opy yang kekenyangan, kami serentak tertawa terpingkal-pingkal.
Selesai makan aku merasa dunia menjadi terang lagi, padahal tadi mendung yang tinggal nunggu hujannya turun. Kami berlima beranjak ke perpustakaan GANESHA, perpustakaan di sekolahku yang selalu ramai dikunjungi waktu istirahat. Semua buku dari fiksi dan nonfiksi ada di sana. Meskipun yang namanya perpustakaan itu sarana untuk belajar, tapi aku sering ke sana untuk melihat-lihat album foto atau hanya untuk melepas kejenuhan aja.
“Teet…! Teet…!” bel masuk berbunyi. Aku dan keempat sahabatku segera menuju ke kelas, karena habis ini adalah pelajaran Pak Samhudi, guru Geografi terkiller di SPENMA. Untung aja pas aku sampai di kelas, Guru yang punya panggilan akrab Pak Hudi itu belum masuk kelas.
Di tengah jam pelajaran Geografi yang lagi membahas tentang Benua Amerika tiba-tiba terpotong karena sound pengumuman yang langsung terhubung sama kantor guru berbunyi, “Pengumuman bagi anak-anak kelas IX besok akan ada acara ESQ setelah jam pelajaran ketiga selesai. Demikian, atas perhatiannya terimakasih.”
Setelah pengumuman selesai, kami sekelas keheranan dengan ESQ itu.
“ESQ itu acara ngapain sih?” gaduh temen-temenku.
Mendengar kegaduhan itu, Pak Hudi langsung menjawab, “Mas, Mba ESQ itu acara pembangkit jiwa.”
Keesokan harinya, setelah jam pelajaran ketiga selesai, ada seorang laki-laki menggunakan jas hitam membawa tas yang sepertinya berisi laptop masuk ke kelas. Aku merasa orang ini sudah tak asing lagi. Sepertinya aku mengenalnya. Saat aku sedang berpikir siapa orang itu, tiba-tiba orang itu berkata,”Assalamu’alaikum wr.wb., adik-adik perkenalkan nama saya Hendro Pamungkas”. Oh, pantas saja mukanya tak asing lagi bagiku, ternyata orang itu adalah teman kakakku yang dulu sering main ke rumahku.
Aku sadari, ESQ itu emang membangkitkan jiwa, soalnya setelah mengikuti acara yang berlangsung selama kurang lebih dua jam itu, hatiku merasa ringan sekali, dan aku seperti melihat cahaya harapan untuk berhasil di depan sana.
“Januari, Februari, Maret, April, dan…..Mei.”ucapku sambil memandangi kalender di kamarku. Aku merasa waktu berjalan cepat sekali.Terkadang aku menangis sendiri, karena teringat bahwa sebentar lagi aku akan berpisah dengan teman-teman, terutama sama sahabat-sahabatku. Tanggal 21 Mei aku harus berperang melawan soal demi soal. Satu minggu menjelang hari itu, aku tidak mengerti apa yang sedang menimpaku. Peristiwa ini datang begitu saja. Di malam Selasa setelah solat Maghrib, handphoneku berbunyi. Ternyata ada sms masuk. Setelah kulihat di inbox, aku tak mengenali nomor pengirimnya. Dan kubaca sms itu.
“Heh! Dasar muka polos hati biadab! Besok abis pulang sekolah, kita ketemuan di WC cowo lama! Inget kamu harus datang sendirian!” ************************************************.(Gilda)

“Ya Allah, ada apa ini tiba-tiba Gilda mengirimku sms dengan kata yang tidak sepantasnya keluar dari anak SMP yang baru berumur 14 tahun”, aku tersentak dan tanpa kusadari pipiku telah dibasahi oleh air mata.
Gilda adalah teman dekat Sarah, anak IX E yang pernah menjadi pacar mantanku yang bernama Rio. Saat aku membaca sms dari Gida, aku sempat berpikir bahwa ini pasti ada hubungannya saat aku jadian sama Rio.
Dulu, di awal masuk semester dua, Rio, anak kelas IX A mengutarakan isi hatinya padaku dan memintaku untuk menjadi pacarnya. Tapi, permintaan itu sama sekali ga aku peduliin soalnya Rio itu anak yang sering gonta-ganti pacar atau yang beken disebut dengan Playboy. Semua anak tahu siapa Rio, dia sering keluar-masuk BK karena kena kasus-kasus. Seminggu setelah Rio nembak aku, terlintas di pikiranku untuk kembali mempertimbangkan permintaan Rio, karena waktu itu Fahri, cowo yang udah lama aku kagumi ternyata baru jadian sama anak IX C. Aku berpikir bahwa aku harus bisa nglupain Fahri bagaimanapun caranya. Hingga akhirnya aku menerima permintaan Rio. Aku bersamanya selama tiga bulan, aku putus dengan Rio karena aku merasa ingin lebih konsentrasi belajar untuk mengahadpi UAN yang tinggal satu bulan lagi. Meskipun begitu, hubunganku dengan Rio dan teman-temannya tetep terjalin dengan baik.
Setelah membaca sms itu, aku segera pergi ke rumah Amelia. Di rumahnya aku menangis tergogok-gogok. Amelia menasehatiku dengan penuh rasa kasihan, “Aulia…jangan menangis lagi. Jujur, aku sebagai sahabatmu saja tidak teriam kamu dibilang seperti itu. Aku udah kenal kamu tiga tahun. Aku tahu semua sifat-sifatmu, dan kurasa tak ada satupun sifatmu yang bisa menyakiti orang lain. Sudahlah, anggap saja ini adalah cobaan dari Allah biar kamu lebih siap ngadepin hidupmu ke depan sana.”
Aku terharu sekali mendengar pernyataan langsung dari mulut sahabatku sendiri. Meski setelah mendengar itu aku jadi tambah menangis, tapi aku merasa lebih baik setelah kuceritakan semuanya kepada Amelia.
Keesokan harinya, aku berangkat sekolah seperti biasa. Tak ada sedikitpun rasa takut di hatiku, karena aku harus menunjukkan kalau aku benar. Aku berusaha untuk tetap konsentrasi mengikuti pelajaran. Meski usahaku bisa dibilang tidak berhasil sepenuhnya, karena selama pelajaran aku sering melamun karena memikirkan apa yang akan dilakukan Gilda padaku nanti setelah pulang sekolah.
Bel pertanda pulang berbunyi, aku segera menuju ke WC cowo lama, yang berada di belakang bangunan baru. Aku datang sendiri, meski sebelumnya aku harus berpanjang lebar memberi pengertian kepada teman-temanku yang memaksa untuk tetap menemaniku menemui Gilda.
“Aulia, nanti kalau ada apa-apa kamu teriak aja. Kami pasti langsung datang membantumu.” ucap Opy dengan muka yang sangat ketakutan.
“Iya, makasih ya…aku yakin ga akan terjadi apa-apa kok. Gilda pasti cuma mau bilang sesuatu padaku.”, jawabku yang sebenarnya juga tak yakin.
Setelah sampai, ternyata di sana sudah ada Gilda dan rombongan teman-temannya. Dalam hati kukuatkan bahwa aku bukan seorang pecundang. Aku harus hadapi semuanya dengan hati yang lapang.
Selama aku bertemu dengan mereka, mereka terus mengataiku dengan kata-kata kotor yang menusuk hati. Namun, kucoba untuk kuat dan kutangkis dengan terus membaca istighfar dalam hati.
Berhari-hari sudah peristiwa itu berlalu, tapi aku tetap menangis teringat parkataan Gilda dan teman-temannya yang sangat membekaskan luka.
Hingga akhirnya, sehari sebelum pelaksanaan UAN di SPENMA diadakan renungan malam sekaligus doa bersama. Malam itu penuh keheningan dan rasa haru karena semua tentang kehidupan dibahas dan dikupas tuntas. Salah satu inti ceramah itu yang masih kuingat sampai sekarang adalah sebelum kita meninggalkan sesuatu, kta harus memberikan kesan yang terbaik untuk yang ditinggalkan. Selesai acara itupun, kubuang semua rasa maluku dan langsung kucari Gilda dan teman-temannya untuk minta maaf atas semua kesalahanku. Saat aku bertemu, dengan spontan Gilda dan teman-temannya langsung memelukku dengan erat sambil menangis.
“Aulia…maafin kami ya… kamu adalah anak yang baik. Kamu sama sekali ga pernah menyakiti salah satu diantara lami. Kami nglakuin ini karena terus terang kami iri padamu yang telah mendpatkan segalanya”, jelas Gilda dengan perkataan yang tak begitu jelas kudengar karena tersaingi dengan tangisan.
Sesampainya di rumah, aku dapat tenang hingga akhirnya aku dapat melewati UAN dengan lancar. Aku bahagia sekali. Tiba saatnya hari pengumuman kelulusan.
“Aulia Pradipta” namaku dipanggil oleh Bu Lastri, wali kelasku. Kulihat dari jauh muka ibuku penuh kebahagiaan. Ternyata benar, kubuka amplop sedikit demi sedikit. Kubaca isi surat kelulusan itu dari atas kingga bawah dengan perlahan.
“Alhamdulillah….”, ucapku sambil sujud syukur di depan pintu kelas.

Akhirnya aku dapat menyelesaikan ujian ini dengan baik, meski awalnya aku merasa pesimis karena pada waktu itu aku sedang mengalami tekanan batin yang aku sendiri tak bisa mengatasinya. Namun, aku yakin dengan kebesaran Allah swt. Yang akan memberikan jalan keluar yang terbaik untuk hamba-Nya. Dan ternyata semua itu terbukti.
Hari itu aku sangat bahagia, tetapi tiba-tiba Amelia yang sedang duduk di bangku sebelahku memelukku dengan erat dan tak terasa bajuku sudah dibasahi oleh air matanya.
“Amelia, kenapa kamu menangis? Bukankah seharusnya hari ini kamu bahagia karena semua impianmu untuk mendapatkan nilai yang bagus telah terwujud?” tanyaku dengan rasa bingung.
“Aulia, maafkan aku selama ini aku menyembunyikan sesuatu dari kamu. Aku sengaja tidak menceritakan ini padamu karena aku takut kamu jadi banyak pikiran dan akhirnya masuk rumah sakit lagi” jelas Amelia dengan tangisan yang semakin keras.
Awalnya aku tak mengerti apa maksud dari perkataan Amelia. Amelia memeng tahu segala tentangku. Bahkan, terakhir aku masuk rumah sakit pun pada bulan November tahun lalu dia yang menungguiku selama seharian. Dia sangat menjaga perasaanku.
“Apa yang kamu sembunyikan dari aku?” tanyaku padanya.
“Setelah lulus ini, aku akan melanjutkan sekolah di Jogja. Pekerjaan ayahku dipindah ke sana, jadi aku dan sekeluarga memutuskan untuk menetap di Jogja. “ucap Amelia dengan ucapan yang terpatah-patah karena masih menangis.
Aku sangat terpukul begitu mendengar penjelasan dari Amelia.
“Amelia, apa kamu masih ingat permintaanku saat aku berulang tahun? Aku meminta kamu, Dara, Rere, dan Opy untuk tetap bersama sampai kita SMA?”tanyaku untuk meyakinkan Amelia tentang kesungguhan permintaanku di Bulan Agustus lalu.
Amelia tidak menjawab apa-apa. Dia terus menangis. Dara, Rere, dan Opy yang melihat kami berdua sedang menangis, menghampiri kami. Mereka menenangkanku dan memberiku penjelasan tentang keputusan Amelia untuk tinggal di Jogja. Sebenarnya mereka sudah lama mengetahui hal itu dan mereka sepakat untuk merahasiakannya dariku. Setelah lama, aku mulai dapat memahaminya.
Amelia harus segera berangkat ke Jogja karena di sana dia juga harus mencari dan mendaftar di sekolah barunya. Selasa subuh dia berangakat dari rumah. Karena rumahku ga terlalu jauh dari rumahnya, subuh itu juga aku pergi ke rumah Amelia untuk melepas kepergiannya. Saat itu aku ditemani oleh pembantuku yang bernama Mbok Darmi.
Satu minggu kemudian dia memberi kabar padaku bahwa dia telah mendapatkan sekolah yang kurasa memang sudah sepantasnya dia dapatkan. Amelia diterima di SMA N 1 Jogja.
Meskipun di SMA ini aku tidak dapat bersama dengan sahabatku lagi, tapi aku tetap bersyukur dan senang karena aku dan semua sahabatku telah mendapatkan sekolah yang terbaik. Aku diterima di SMA N 1 Semarang, Dara di SMK TELKOM, Rere di SMA N 5 Semarang, dan Opy di SMA N 3 Semarang.
Memang awalnya aku sangat merasa kehilangan orang-orang yang sangat berarti dalam hidupku, tapi kesedihan itu hanya sementara karena aku telah mendapatkan para pengganti mereka di sekolahku saat ini. Ternyata di balik kesusahan itu selalu ada kemudahan, asalkan kita sabar dan mendekatkan diri pada Allah.

0 komentar:

chat yuk


Free shoutbox @ ShoutMix